
JAKARTA – Serial Netflix Adolescence tengah menjadi perbincangan khalayak luas. Di balik serial yang dianggap sempurna oleh pada kritikus film, Adolescence rupanya menyingkap sisi gelap media sosial, terutama bagi remaja, yang mungkin jarang diketahui publik.
Para kritikus kompak memuji Adolescence, serial yang pertama kali tayang secara global pada 13 Maret 2025. Drama kriminal asal Inggris ini mendapat skor nyaris sempurna di situs agregator Rotten Tomatoes.
Kritikus film David Bianculli bahkan menobatkan Adolescence sebagai serial terbaik 2025 sejauh ini. “Adolescence brilian, sejauh ini serial TV terbaik tahun ini,” tulis Bianculli.
Namun yang menjadi sorotan dari serial ini tidak hanya tentang jalan ceritanya, yang menurut orang “berat” untuk diikuti, tetapi juga mengungkap bagaimana media sosial memiliki dampak yang begitu besar, terutama di kalangan remaja.

Validasi di Media Sosial
Adolescence bercerita tentang kasus kriminal yang terjadi di sebuah kota di Inggris. Kasus tersebut melibatkan remaja bernama Jamie Miller (Owen Cooper) yang ditangkap di rumahnya. Ia diduga membunuh teman perempuannya, Katie Leonard, dengan cara menikamnya.
Jamie Miller kemudian menjalani serangkaian proses di kantor kepolisian, mulai dari penahanan, pendampingan wali, penunjukkan kuasa hukum, sampai interogasi. Namun yang menjadi perhatian dari serial ini bukan soal siapa pembunuh Katie Leonard (Emilia Holliday), melainkan bagaimana media sosial berdampak pada perkembangan emosi remaja.
Jamie Miller, dan kakak perempuannya, tumbuh dan besar di keluarga yang baik-baik saja. Ayahnya, Eddie Miller (Stephen Graham), diketahui sebagai sosok yang penyayang. Dari cerita Jamie pada psikolog yang memeriksanya, ia menceritakan ayahnya tak pernah memukul, meski pernah sesekali terlihat emosi.
Lalu, mengapa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang baik justru bisa melakukan tindakan seperti yang Jamie Miller lakukan?
Dalam serial tersebut diketahui Jamie Miller sebagai pelaku bukanlah korban trauma kekerasan domestik. Adalah media sosial yang membawa Jamie dalam isolasi emosional serta kebutuhan akan validasi yang tiada henti.

Bagi para remaja, validasi yang didapat media sosial seringkali menjadi barometer harga diri mereka. Jumlah like, views, atau komentar dianggap sebagai alat ukur validasi yang berkelanjutan.
Dr. Kamna Chibber, Kepala Kesehatan Mental di Departemen Kesehatan Mental dan Ilmu Perilaku Fortis Healthcare menuturkan konsekuensi psikologis dari siklus tersebut sering diremehkan.
“Media sosial menumbuhkan budaya kepuasan instan. Remaja sering kali menyamakan harga diri mereka, sesuai dengan bagaimana orang lain memandang mereka secara online, yang menyebabkan meningkatnya kecemasan, keraguan diri, bahkan cenderung depresif,” ucap Chibber menguti India Today.
Validasi eksternal ini, Chibber menambahkan, dapat menjadi hal yang candu. Setiap angka like, share, komentar, atau view yang diterima di unggahan media sosial meningkatkan dopamine, yang memicu keinginan mendapat kesenangan instan itu lebih banyak dan berkelanjutan.
Apabila validasi yang diharapkan tidak didapat atau mendapatkan feedback yang negatif, seperti jumlah like sedikit atau views turun, ini dapat mengakibatkan penarikan diri secara emosional atau perilaku agresif.
Perundungan Online yang Berevolusi
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di dunia digital, bullying atau perundungan ternyata berevolusi. Bahasa gaul, akronim, dan pesan samar sering digunakan untuk mengucilkan atau mengejek seseorang, sehingga makin sulit bagi orang dewasa mendeteksi perundungan siber.
Di serial Adolescence ini, mengungkap bagaimana emoji yang dianggap tidak berarti apa-apa ternyata berevolusi sebagai simbol perundungan online di kalangan remaja. Ada satu emoji yang disinggung dalam Adolescence, yaitu emoji pil merah (red pill). Emoji ini seharusnya biasa-biasa saja dan tidak berbahaya.
Namun bagi kalangan tertentu, emoji pil merah diyakini sebagai simbol kesepakatan gagasan misoginis atau kebencian terhadap perempuan. Ini menunjukkan bahwa perundungan di dunia digital telah berevolusi. Jika sebelumnya tampak biasa dan tidak berbahaya, sekarang justru memiliki pesan tersirat yang destruktif.
Tanushree Bhargava, psikolog klinis dari Yatharth Hospital menjelaskan perundungan online memiliki dampak psikologis yang tak kalah serius.
BACA JUGA:
“Satu saja komentar negatif dapat terasa berat untuk seorang remaja. Tanpa intervensi, ini dapat menyebabkan tekanan emosional yang parah,” kata Bhargava.
Untuk itu, ia menyarankan para orang tua untuk memperhatikan perubahan perilaku seperti menarik diri, perubahan mood, atau penolakan menggunakan gawai secara tiba-tiba. Karena sangat disayangkan, yang sering terjadi justru adalah baik orangtua maupun anak tidak menyadari dampak media sosial pada remaja.
“Mereka seringkali datang dengan gejala tidak langsung, dan baru setelah percakapan mendetail kami mengungkap seberapa besar pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental mereka,” ucapnya.
Beberapa tanda langsung dan tidak langsung meliputi keluhan dari orangtua seperti kecanduan ponsel, kesulitan akademis, perubahan suasana hati, impulsivitas, masalah dengan perhatian dan fokus, kecemasan.

Selain itu ada pula kekhawatiran mengenai penampilan fisik, harga diri rendah, perilaku obsesif, menarik diri dari pergaulan, serta konflik keluarga atau pertemanan.
“Gejala-gejala ini mungkin tampak tidak berhubungan pada awalnya, tetapi ketika kita melihat lebih dalam, sering kali menjadi jelas bahwa media sosial merupakan faktor signifikan dalam kesejahteraan mereka secara keseluruhan,” kata Bhargava menyudahi.