Hari Buku Sedunia: Seruan Dunia untuk Literasi dan Cinta Membaca

Hari Buku Sedunia: Seruan Dunia untuk Literasi dan Cinta Membaca


Rabu, 23 April adalah hari Buku Sedunia. (Foto Unsplash.com)

JAKARTA — Setiap 23 April, dunia merayakan Hari Buku Sedunia, momentum global yang ditetapkan UNESCO sejak 1995 untuk mengingatkan pentingnya membaca, hak cipta, dan budaya literasi. Tanggal ini bukan sekadar pilihan simbolik—23 April adalah hari wafatnya sastrawan besar seperti William Shakespeare dan Miguel de Cervantes.

Dilansir dari Wikipedia, tradisi merayakan buku sendiri bermula dari Catalunya, sejak 1923. Ide awalnya dari penulis Valencia, Vicente Clavel Andres sebagai cara untuk menghargai penulis Miguel de Cervantes yang meninggal di tanggal itu. Momentum manis ini kini menjadi simbol universal pentingnya literasi.

Peringatan Hari Buku Sedunia dirayakan di lebih dari 100 negara. Beragam kegiatan digelar, mulai dari pameran buku, kampanye membaca, hingga diskusi literasi. Tujuannya satu: mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk kembali mencintai buku di tengah arus digital dan hiburan cepat saji.

Namun, tantangan masih besar. Meski teknologi berkembang pesat, jutaan orang di dunia belum mampu membaca. Hari Buku Sedunia menjadi panggilan untuk memperluas akses pendidikan, terutama di daerah tertinggal.

Minat baca di Indonesia sendiri masih sangat rendah. Menurut data UNESCO yang dilansir dari kallainstitute, Indonesia menempati peringkat kedua terbawah dalam hal literasi dunia. Angkanya hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu yang gemar membaca.

Riset lain dari Central Connecticut State University pada 2016 juga menunjukkan hal serupa. Dalam pemeringkatan World’s Most Literate Nations, Indonesia berada di posisi ke-60 dari 61 negara. Indonesia hanya unggul dari Botswana, dan berada satu tingkat di bawah Thailand.

Padahal, secara infrastruktur pendukung literasi, Indonesia justru mendapat penilaian lebih baik dibanding beberapa negara Eropa. Namun fasilitas belum sebanding dengan minat baca masyarakatnya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 memperkuat fakta ini. Hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rutin membaca buku.

Kondisi ini tentu memprihatinkan dan menjadi tantangan besar dalam membangun budaya literasi di Indonesia.

Padahal menurut Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch Bangun, buku itu penting karena membaca buku adalah latihan untuk otak dan rasa. Aktivitas ini memberikan banyak manfaat.

“Berbeda dengan membaca di HP atau laptop yang bisa berdampak pada kesehatan mata, membaca buku cetak tidak menimbulkan efek serupa,” jelasnya saat dimintai pandangan soal Hari Buku Sedunia, Rabu, 23 April.

Di era media sosial yang serba cepat, membaca adalah bentuk perlawanan sunyi. Bukan hanya memperkaya pengetahuan, tapi juga melatih empati dan menyembuhkan jiwa dari rutinitas. Hari Buku Sedunia hadir untuk mengingatkan: masa depan peradaban dimulai dari satu halaman yang dibaca, dan satu anak yang diajak mengenal huruf.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *